Sabtu, 17 Maret 2018

Kesenian Aceh

Kesenian Aceh 

1. Tari Saman

tari saman
Tari Saman, tarian tradisional ini dulunya adalah tarian etnis Suku Gayo, dimana ras tersebut sebagai ras tertua di pesisir Aceh saat masa itu.
Saat itu tarian ini bertujuan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam. Sekarang, tarian ini bersifat hiburan dan sering dibawakan untuk mengisi festival kesenian dimancanegara.
Tarian ini kira-kira dimainkan oleh 9 atau lebih, yang terpenting jumlahnya harus ganjil. Tapi ngomong-ngomong tentang Tari Saman, saya sempat membaca didunia maya sempat terjadi kontroversi tentang tarian ini.
Salah seorang netizen mengatakan jika tarian ini dikhususkan untuk laki-laki, karena tubuh wanita sangat lemah untuk mengikuti gerakan tari saman. Wajar saja, gerakan dalam tari saman kan terdapat seperti gerak guncang, lingang, surang-saring, dan kirep. Walau pada dasarnya, gerakannya mengandung tepuk dada dan tepuk tangan.
Dalam tarian ini, semua penari bergerak dengan sangat kompak, gerakan yang dianggap klimaks dari semua gerakan adalah ketika penari-penari itu mengangkat tangannya ke langit, dan memegang tangan temannya. Saya fikir gerakan itu seperti ombak. Dimana sebagian penari menunduk, sebagian lagi seolah menegadah kebelakang, sebagian lagi mengangkat tangan.
Kostum yang digunakan dalam tari saman adalah kostum suku Gayo, dan dikendalikan oleh penari tengah. Tari saman tidak menggunakan alat musik lainnya, mereka memanfaatkan bunyi suara yang dihasilkan dari tepukan tangan.
Pantas saja, tarian ini masuk ke daftar UNESCO. Dan sejak itulah, tari saman tidak diperbolehkan ditarikan oleh perempuan, kostum yang digunakan pun tidak sembarangan dan bahasa yang digunakan pun harus bahasa suku Gayo.


2. Tari Laweut Aceh

Tari Laweut

Tarian tradisional selanjutnya adalah tari laweut, kata ‘laweut’ berasal dari shalawat atau pujian pada Nabi Muhammad SAW. Tarian ini berasal dari Kab. Pidie, Aceh. Dulunya tarian ini disebut tari seudati.
Tarian ini, biasanya ditarikan oleh 8 orang wanita dan 1 penyanyi. Syair-syairnya yang dilantunkan berupa ayat-ayat Islam atau dakwahan. Gerakan dalam tarian ini, hampir sama dengan tari saman, bedanya mereka menarikan secara berdiri. Jika saya lihat tarian ini tampak sangat sepi. Karena tidak adanya iringan musik.
Masih sangat berkesan tradisional, suara yang dihasilkan dari tepukan tangan para penari dianggap musik pengiring. Tapi saya pribadi sih, berfikir jika saja memasukan alat musik rebana kedalam tarian tersebut, pasti akan lebih rame.

3. Tari Tarek Pukat

Tari Tarek Pukat


Tari ini sangat unik karena menggambarkan akitifitas nelayan yang akan menangkap ikan.
Sejarahnya tarian ini terinspirasi dari tradisi nelayan. Wajar saja, karena masyarakat Aceh saat itu sebagian besar profesinya adalah seorang nelayan.
Saat menangkap ikan, mereka bergotong royong membuat jala dan menangkap ikan bersama-sama, dan hasilnya pun akan dibagi kepada warga sekitar.
Makna dalam tarian ini singkatnya adalah kerja sama dan kebersamaan. Musiknya pun menggunakan alat musik tradisional.
Tarian ini biasanya terdiri dari sekitar 7 orang penari wanita. Dengan kostum busana tradisional khas Aceh, mereka membawa seuntai jala dipinggangnya, hingga akhirnya, dengan gerakan ke kanan dan kekiri, masing-masing tali akan dikaitkan pada teman sebelahnya, lalu dilepas, dan dililitkan lagi, hingga pada endingnya tali itu akan berbentuk jala.
Walau gerakannya seperti itu-itu saja, ada nilai seni yang terkandung didalamnya. Saat ini, tarian ini biasa diadakan di acara resmi, acara penyambutan dan perayaan tertentu.

4. Tari Bines

Tari Bines
Tarian ini berasal dari Kabupaten Gayo Lues. Biasanya ditarikan oleh sekelompok perempuan.
Jumlah penari Bines diharuskan berjumlah genap, entah 10, 12 atau berapapun (tidak ada ketentuan jumlah). Ciri khas dari tarian ini ditarikan dari gerakan lambat sampai gerakan cepat hingga akhirnya berhenti serentak. Hampir mirip dengan tarian saman. Disebutnya saja, bagian dari tari saman.
Uniknya bila kamu ingin memberikan uang pada penari, kamu harus menyimpan uangmu di atas kepala penari. Uang itu dianggap sebagai ganti bunga yang diberikan dari penari (biasanya ada di akhir acara).
Kostum yang digunakan di tarian ini adalah, baju lukup, kain sarung seragam, kain pajang, hiasan leher, dan hiasan tangan seperti topong gelang.
Lagu yang dilantunkan di tari ini adalah jangin bines.

5. Tari Didong

tari didong
Menurut Wikipedia, Didong adalah kesenian yang menyatukan beberapa unsur seperti tari, vokal dan sastra.
Awal-awalnya tarian ini muncul ketika ada salah seorang seniman yang bernama Abdul Kadir To’et yang peduli dengan kesenian ini. Saat itu kesenian ini digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.
Kata Didong pun mengandung arti ‘nyanyian sambil bekerja’, ada pun yang berpendapat didong berasal dari suara musik yang seolah-olah mengatakan ‘din’ dan ‘dong.
Gerakan tarian ini, duduk dan bermain dengan kedua tangan. Sampai mereka menyanyikan sebuah lagu, dan menepakkan tangan dengan ketukan yang berbeda seperti tari kecak. Tarian ini tidak menggunakan alat musik latar, karena penarinya akan mengeluarkan nada-nada seperti musik dari mulutnya.
Biasanya tarian ini dipentaskan jika ada acara keagamaan, dan sebagai ajang hiburan saja.

6. Rapai Geleng


rapai geleng

Tarian ini awalnya berasal dari Manggeng, salah satu daerah di Aceh Selatan. Dikembangkan oleh seorang anonim. Biasanya tarian ini dibawakan oleh laki-laki.
Dari syairnya tarian ini bertujuan untuk menanamkan nilai moral pada masyarakat, dan pertama kali tarian ini dikembangkan berawal dari tahun 1965 dimana tarian ini menjadi sebuah sarana dakwah. Hingga akhirnya menarik minat para penonton.
Biasanya syairnya di ambil dari lagu-lagu keagamaan. Geleng disini, mengartikan dibeberapa gerakan penari yang menggeleng-geleng kepalanya ke kanan dan kekiri. Gerakannya sangat berirama dan mengutamakan kekompakan.
Kata ‘Rapai’ sendiri berasal dari alat musik yang mirip dengan gendang yang digunakan oleh penari. Sekarang dikenal sebagai sebutan ‘rebana’.

7. Tari Ula ula lembing


tari ula ula lembing

Kesan pertama ketika saya mendengarkan lagu latar tarian ini, saya seperti mendengarkan lagu Arab.
Kalau tidak ada yang menyanyikannya mungkin saya terkecoh dengan musik latarnya, dari sekian video yang saya liat, penyanyi dan musik latarnya masih itu-itu juga.
Bentuk kerudung penarinya pun ada yang berbeda-beda, ada yang menggerai seperti jilbab, ada juga yang seperti ciput. Saya tidak tau apakah ini memang dari sananya begini apa dibuat biar ada keaneka ragaman bentuk kerudung. Namun bila saya liat vidio yang lain, ternyata kerudungnya serupa. Tapi… bukan masalah ininya yang harus kalian ketahui.
Tari ini salah satu tarian yang langka wancana, beberapa sumber lain sangat singkat dan padat penjelasan tentang tarian ini.
Usut punya usut, ternyata tarian ini hampir dan bahkan pudar termakan zaman, padahal tarian ini adalah tarian yang bernuansa bahagia. Dulu, digunakan untuk ritual adat dan acara pernikahan.

8. Tari Ratoh Duek Aceh


Tari Ratoh Doek

Kata ratoh diambil dari bahasa Arab yang artinya Rateb, dan kata ‘duek’ berasal dari bahasa Aceh sendiri yang artinya duduk. Tarian ini pun kadang disebut dengan ratoh jaroe.
Disini kamu akan menemukan penari wanita yang berjumlah 10 ataupun lebih, dengan 2 orang syahie atau penyanyi. Tarian ini menggambarkan makna yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Kekompakan, keselarasan, sifat optimis, dan tegas. Hal ini terlihat dari harmoni para penari yang bertepuk tangan sesuai irama.
Gerakan tarian ini hampir sama dengan tari saman, tapi bukan berarti tari KW-an. Karena setelah Tari Saman diakui UNESCO sebagai Budaya Warisan Manusia, sejak itu pula tari saman tidak diperbolehkan diikuti oleh wanita.
Bagaimana nasib para penari wanita yang dulunya menarikan tari saman?
Nah, disni mereka memisahkan diri sebagai tari Ratoh Duek. Namun, banyak orang yang mengira tarian ini adalah tari saman. Suku Gayo tidak mau merusak budayanya. Mereka ingin masyarakat Aceh membuat tariannya sendiri dengan namanya sendiri tanpa mengubah adat sesepuh (tari saman).
Lahirlah Tari Ratoh Duek yang jumlah penarinya harus genap, sedangkan tari saman harus ganjil. Ratoh Duek menggunakan tarian adat tradisional Aceh dan berbahasa Aceh, beda dengan tari saman yang menggunakan bahasa Gayo. Alat musik ratoh duek pun menggunakan rebana.

9. Tari Pho

tari pho

Tarian tradisional berikutnya memiliki nama lucu yaitu Pho, mengingatkan saya pada salah satu nama telletubies. Namun Pho disini bukan diambil dari film anak, Pho ini berasal dari kata peubae, jika diartikan dalam bahasa Aceh seperti sebutan penghormatan.
Tarian ini dibawakan oleh perempuan, zaman dulu tarian ini ditarikan sebagai simbolin bahwa orang tersebut sedang bersedih hati atau berduka cita. Namun setelah masuknya agama Islam di Aceh, tarian ini menjadi kesenian rakyat saja.
Sejarah singkatnya, ada seorang gadis yatim piatu yang sangat cantik, ia diasuh oleh kakak Ibunya. Dan pengasuhnya memiliki seorang anak laki-laki, hingga akhirnya anak laki-laki dan gadis tersebut saling jatuh cinta. Namun ada pihak yang iri dan sakit hati karena ditolak oleh gadis tersebut. Akhirnya mereka difitnah telah berzinah, saat itu hukuman orang berzinah sangat fatal yaitu hukuman mati. Akhirnya mereka dihukum mati.
Akhirnya Ibunya laki-laki tersebut berduka sambil menari-nari untuk mengekspresikan kesedihannya dan lahirlah tari Pho.
10.CANANG
Canang adalah alat musik tradisional dari Aceh yang sering dijumpai pada kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang, dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya “Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi” dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”.
Canang terbuat dari kuningan dan bentuknya menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik canang dan masing-masing memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda pula.
Fungsi canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional. Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
11.RAPAI
Alat musik tradisional Rapai merupakan alat musik yang dibunyikan dengan cara dipukul. Menurut Z.H Idris, alat musik Rapai ini berasal dari Bahdad (irak), dan dibawa ke Aceh oleh seorang penyiar agama Islam bernama Syeh Rapi.
Dalam pertunjukannya, alat musik rapai ini dimainkan oleh 8 sampai 12 orang pemain yang disebut awak rapai. Alat musik Rapai ini berfungsi untuk mengatur tempo dan tingkahan-tingkahan irama bersama Serune kalee maupun buloh perindu.
Berdasarkan besarnya rapai serta fungsinya, alat musik tradisional dari Aceh ini terdiri dari beberapa jenis yaitu :
Rapai Pasee (rapai gantung)
Rapai Daboih
Rapai Geurimpheng (rapai macam)
Rapai Pulot
Rapai Anak/tingkah
Rapai kisah
Alat musik rapai ini biasanya dimainkan dalam berbagai kesempatan seperti misalnya pada saat pasar malam, upacara perkawinan, ulang tahun, mengiringi tarian, memperingati hari hari tertentu dan acara lainnya. Namun, selain dimainkan secara tunggal alat musik rapai ini juga dapat digabungkan dengan peralatan musik lainnya.
Rapai berbentuk seperti tempayan atau panci dengan berbagai ukuran. Dibagian atas rapai ditutup dengan kulit, sedangkan bagian bawahnya kosong.
12.GEUNDRANG
Geundrang merupakan salah satu unit alat musik tradisional Aceh yang merupakan bagian dari perangkatan musik Serune Kalee.
Geundrang termasuk jenis alat musik yang dibunyikan dengan cara dipukul baik dengan menggunakan tangan atau memakai kayu pemukul.
Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

 13.SERUNE KALEE
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh adalah alat khas tradisional Aceh Musit yang dimainkan sejak jaman dahulu.
Instrumen ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Alat musik tradisional serune kalee ini biasanya dimainkan dalam hubungannya dengan Gendrang Rapai dan acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan pada raja raja kerajaan zaman keemasan Aceh Darussalam.
Serune Kalee bersama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik sejak masa kejayaan kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi / warna musik dalam budaya tradisional Aceh. Instrumen ini adalah salah satu alat musik layaknya seruling atau klarinet, tersebar di komunitas Melayu.
Kata Serune Kalee mengacu pada dua hal yang berbeda. Kata pertama, menunjuk ke kuningan Serune tradisional Aceh yang sering bermain bersama Rapai. Sementara Kalee adalah nama dari sebuah nama desa di Laweung, Pidie.
Peralatan musik tidak hanya digunakan oleh orang-orang Aceh, tetapi juga Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lainnya di Sumatera Barat. Bahkan, distribusi pasokan ini mencapai Thailand, Sri Lanka, dan Malaysia. Semacam ini alat musik juga ditemukan di daerah pesisir lainnya dari Provinsi Aceh dan, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Barat, dan dengan nama yang sama (Burhan Paradise, ed, 1986:. 81). Setiap daerah yang menggunakan jenis musik ini memberikan berbagai variasi dalam peralatan, sehingga bentuk dan namanya juga bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune, ada kesamaan dalam nuansa mengangkat suara, laras nada, getaran, Volume suara, dinamika suaranya.
Berdasarkan data yang ada, peralatan ini telah ada sejak kedatangan Islam ke Aceh. Ada beberapa yang mengatakan peralatan ini berasal dari Cina (ZH Idris, 1993: 48-49).
Pada saat ini budaya di Aceh juga berkembang pesat, salah satunya adalah seni, dengan gaya Islam yang kuat. Peralatan Serune Kalee masih saat ini memegang peranan penting dalam berbagai seni pertunjukan, dalam berbagai upacara, dan acara lainnya Kalee Serune game musik. Telah menghibur masyarakat Aceh sejak dulu sampai sekarang.
14.TAKTOK TRIENG
Taktok Trieng sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah Kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis: satu dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan di tempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini. Dan jenis yang dipergunakan di sawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan di tengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
15.BANGSI ALAS
Alat musik tradisional Aceh yang bernama Bangsi Alas adalah merupakan  instrumen tiup dari bambu yang dijumpai banyak  dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan mistik, yaitu ketika ada orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya.
Sangat sedikit informasi tentang alat musik Bansi Alas ini, mungkin keberadaannya sudah langka dijaman ini.
Sumber:http://www.ragamseni.com/9-tarian-tradisional-dari-aceh-yang-paling-terkenal/
               http://sejarahri.com/7-alata-musik-tradisional-aceh/

Rumah Adat Aceh

Rumah Adat Aceh 

Rumah Adat Aceh - Rumah Aceh atau lazimnya disebut Rumoh Aceh merupakan rumah adat Aceh yang berada di Provinsi Aceh atau yang dahulu disebut Nanggroe Aceh Darussalam. Ibukotanya berada di Banda Aceh. Provinsi ini merupakan salah satu daerah istimewa karena diberlakukannya syariat islam dalam keseharian masyarakatnya. Letaknya di ujung paling barat di pulau Sumatera dan Negara Indonesia. Provinsi ini hanya berbatasan dengan satu daratan yaitu dengan Provinsi Sumatera Utara di sebelah selatan, sedangkan sisanya berbatasan dengan laut yaitu Selat Malaka di sebelah utara dan timur  dan Samudra Hindia di sebelah barat.
Rumah Adat Aceh

erdasarkan ketinggian rumah dan fungsinya, rumah adat aceh diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu, Rumoh AcehRumoh Santeut dan Rangkang. Namun yang banyak diketahui publik hanyalah rumoh aceh sehingga Rumoh Aceh menjadi ciri khas rumah adat Aceh. Rumoh Aceh memiliki tiang yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua rumah lainnya, namun memiliki fungsi yang sama dengan Rumoh Santeut yaitu sebagai rumah tinggal. Sedangkan Rangkang memiliki tinggi yang sama dengan dengan Rumoh Santeut namun memiliki fungsi sebagai balai pertemuan atau mengaji.

Rumoh Aceh

Rumah Aceh atau Rumoh Aceh dalam bahasa Aceh adalah rumah adat Aceh yang berbentuk rumah panggung dengan denah rumah berupa persegi panjang dan diposisikan dari timur ke barat agar tidak sulit menentukan arah kiblat sedangkan tampak depan menghadap utara-selatan. Salah satu ciri khas rumoh Aceh ini adalah tiang-tiang penopang rumah yang sangat tinggi, yaitu sekitar 2,5-3 meter. Luas bangunannya pun minimal 200 m2 dengan ketinggian dasar lantai hingga atap mencapai 8 m. Walaupun memiliki ukuran yang besar salah satu kehebatan rumoh aceh ini adalah pembangunannya yang hanya menggunakan tali ijuk, pasak serta baji dengan material utamanya kayu, papan dan daun rumbia untuk atapnya. Namun hingga hari ini rumah aceh ini masih berdiri tegak setelah dibangun lebih dari 200 tahun. Berikut ini replika gambar rumah aceh yang berada di TMII.
Penggunaan bahan yang berasal dari alam merupakan wujud penghormatan dan pemanfaatan warga aceh terhadap sumber daya alam yang melimpah disekitarnya   serta wujud terimakasih kepada Allah SWT. Karena bagi masyarakat Aceh perihal membangun rumah tidaklah sederhana karena pembangunannya diibaratkan membangun kehidupan sehingga diperlukan upacara adat yang harus dipenuhi sebelum memulai proses pembangunan.
Upacara adat ini melalui tiga tahapan. Tahapan pertama yaitu upacara adat yang digelar pada saat diambilnya material bangunan dari hutan. Tahapan kedua yaitu upacara adat saat akan mulai proses pembangunan, dimana tanggal yang diambil diputuskan oleh Teungku (ulama setempat). Sedangkan tahapan terakhir yaitu upacara adat yang dilakukan setelah rumah telah rampung atau pada saat rumah akan ditinggali. Proses pembangunannya pun melalui proses musyawarah dengan keluarga, masukan dari Teungku dan pembangunannya dilakukan secara bergotong royong. Hal inilah yang menyebabkan terciptanya keharmonisan dalam lingkungan bermasyarakat yang berjalan lurus dengan adat. Adapun aturan penempatan ruang dalam rumah aceh berperan sebagai lambang ketaatan pada aturan.
Tampak depan rumah yang menghadap utara-selatan pun diterapkan selain untuk menghindari arah angin yang berpotensi merubuhkan bangunan juga untuk memudahkan sinar matahari menembus kamar-kamar. Sedangkan posisi bangunan yang menghadap ke arah barat-timur menggambarkan salah satu penerapan aspek keagamaan masyarakatnya terhadap tempat tinggalnya. Penerapan lainnya yaitu, pembagian ruangan dan anak tangga yang ganjil serta disediakannya gentong air untuk membilas kaki sebelum memasuki rumah.
Pembagian ruangan di rumah aceh terdiri atas tiga bagian utama yaitu  Ruang depan atau serambi muka (seuramoe keue) atau (seuramoe reunyeun), Ruang tengah (tungai) dan Ruang belakang (seramoe likoet). Setiap bagian ini memiliki fungsinya masing-masing bahkan memiliki pembagian area bagi yang ingin memasukinya, yaitu area yang boleh dimasuki pria dan wanita dan area khusus wanita saja. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kesopanan kepada wanita.
Ikuti aku ke Reuye

Ruang depan atau Seuramoe EUE / Seuramoe Reunyeun

Ruang depan atau Seuramoe Keue / Seuramoe Reunyeun adalah sebuah ruangan luas memanjang tanpa sekat-sekat yang berfungsi sebagai ruang tamu. Ruang tamu ini terbuka bagi siapa saja baik pria maupun wanita. Selain untuk menerima tamu, ruang ini juga dimanfaatkan sebagai area mengaji dan istirahat anak laki-laki, area pertemuan keluarga, area makan-makan saat ada upacara pernikahan atau upacara adat lainnya.  Pada area barat diletakkan tikar besar di lantai serta tikar duduk anyaman kecil yang berbentuk segi empat sebagai tempat duduk para tamu. Di dalam ruangan ini pun terdapat tangga yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tengah. Jumlah anak tangganya biasanya bilangan ganjil sekitar 7 atau 9 anak tangga.
Rumah inong aceh

Ruang atau Tengah Sungai (Rumoh Inong dan Rumoh Anjoeng)

Ruang Tengah atau tungai merupakan ruang bersekat yang berada di antara ruang depan dan belakang dan memiliki posisi lebih tinggi setengah meter dari kedua ruang tersebut. Ruang ini terbagi menjadi dua kamar yang berhadapan yaitu rumah inong atau rumah induk dan rumah anjoeng. Rumoh inong merupakan kamar tidur yang dipakai oleh kepala keluarga, sedangkan rumoh anjoeng merupakan kamar tidur yang dipakai anak perempuan.  Bila memiliki lebih dari satu anak perempuan, maka kepala keluarga akan tidur di ruang belakang selama sbelum dapat membangun ruangan baru yang terpisah. Keunikan ruang inong yaitu ruang  dapat digunakan sebagai tempat pelaminan di acara pernikahan selain itu bagian lantainya yang terbuat dari papan dapat dibongkar pasang untuk memandikan mayat anggota keluarga.
Pada ruang tengah ini juga terdapat sebuah gang yang disebut rambat. Rambat ini diapit oleh rumoh inong dan rumoh anjoeng dan berfungsi sebagai ruang yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Namun akses rambat ini pun terbatas apalagi bila lelaki ingin melewatinya. Akses hanya diberikan kepada  kerabat keluarga yang dekat. Hal ini dilakukan karena rambat merupakan akses jalan menuju ruang belakang yaitu area khusus wanita.

Ruang Belakang atau Seuramoe Likot

Ruang Belakang atau Seuramoe likot merupakan ruangan yang terletak di belakang dengan ketinggian lantai yang sama dengan ruang depan dan juga tidak ada sekat sekat. Ruangan ini digunakan sebagai tempat berkumpulnya penghuni rumah, ruang makan, tempat para wanita berkegiatan seperti menjahit dan menganyam serta merangkap sebagai dapur. Namun ada pula yang memisahkan dapurnya di belakang seuramoe likot atau disebut rumoh dapu dengan posisi lantai yang sedikit lebih rendah. Selain itu di bagian umumnya terdapat loteng yang dibangun khusus sebagai tempat penyimpanan barang berharga keluarga.

seuram0e likot aceh
Selain dari tiga ruangan utama di atas, umumnya rumoh aceh dilengkapi oleh Kroeng Pade atau lumbung padi untuk menyimpan padi dan juga bale atau balai yang dimanfaatkan sebagai tempat melepas lelah sejenak. Bangunan ini terpisah dari rumah utama dan biasanya diletakkan di sekitar rumah.

kadeeng pade aceh

Rumah Aceh atau Rumoh Aceh terdiri atas tiang-tiang penopang lantai, tangga, lantai, dinding, jendela dan atap yang keseluruhannya dibangun tanpa menggunakan paku. Material yang digunakan yaitu tali pengikat yang berbahan tali ijuk, pasak, rotan dan kulit pohon waru, papan, enau, kayu dan bamboo.
Banyaknya jumlah tiang penopang di rumah aceh bervariasi tergantung dari berapa banyak ruangan yang terdapat di dalam rumah atau dari seberapa luas ukuran rumah. Biasanya masyarakat aceh membangun rumah dengan jumlah tiang sebanyak 16, 18, 22 dan 24. Namun ada pula yang sanggup membangun dengan jumlah tiang mencapai 40 atau bahkan 80. Jumlah tiang 16 biasanya untuk rumah yang mempunyai tiga ruangan, sedangkan  jumlah tiang 24 untuk rumah yang mempunyai 5 ruangan. Material yang digunakan untuk membuat tiang ini biasanya dari bahan kayu dan bentuknya bulat dengan diameter kurang lebihnya 20-35 cm.

Kolom pendukung ini ditempatkan dengan deretan empat baris pada jarak masing masing 2,5-4 m. Ada dua pilar khusus di kolom ini, raja jinak (tiang raja) ditempatkan di utara dan tameh putrou (pilar perempuan) yang ditempatkan di selatan.
Adanya tiang menyebabkan terbentuknya ruang kosong di bawah lantai atau kolong yang lazimnya disebut yup moh. Ruangan kosong ini bermanfaat sebagai pencegah masuknya binatang buas ke dalam rumah dan untuk menghindari banjir pada masa lampau. Oleh para penghuni rumah ruangan ini juga dimanfaatkan sebagai penyimpanan perkakas kerja sehari-sehari seperti alat tumbuk padi (Jeungki) dan sebagai tempat menaruh padi (berandang). Saking tingginya tiang-tiang ini terkadang yup moh atau kolong ini juga dimanfaatkan para penghuni rumah sebagai area bermain anak, kegiatan menenun para wanita, bahkan sebagai kandang sementara binatang peliharaan maupun ternak.
Sebagai rumah panggung, maka diperlukan tangga untuk mencapai rumah utama atau lazimnya disebut reunyeun. Tangga ini berjumlah ganjil yaitu mulai dari 7 hingga 9 tangga. Jumlah ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Aceh akan pengaruh jumlah terhadap rezeki, pertemuan dan juga rumaut. Fungsi lain dari tangga ini juga sebagai palang bagi selain keluarga atau kerabat dekat terutama bila tidak ada penghuni pria di dalam rumah. sehingga tangga ini dapat menjadi pengawas dalam hubungan social antar warga.
Berbanding terbalik dengan bangunan yang besar dan juga tinggi, pintu masuk utama rumoh aceh atau pinto aceh ini sangatlah mungil. Tingginya hanya sekitar 120-150 cm.  Hal ini membuat orang yang hendak masuk otomatis menundukkan kepala agar tidak terbentur. Konsep ukuran pintu yang mungil ini menggambarkan bahwa siapa pun orang yang hendak masuk, kaya atau miskin, tua atau muda hendaknya menghormati sang pemilik rumah. Karena pintu ibarat hati pemilik rumah, perlu upaya untuk memasukinya namun apabila telah masuk maka akan diterima dengan penuh kebesaran hati tanpa sekat sekat seperti luasnya bagian dalam rumah. Hal ini sesuai dengan pribadi masyarakat aceh yang menjunjung adat, yaitu tidak suka menyombongkan diri.
Serupa dengan pinto aceh, jendela rumah aceh pun mungil-mungil, dengan ukuran 0.6x1 m. Biasanya jendela diletakkan di dinding sebelah barat dan timur yaitu pada rumoh inong dan rumoh anjoeng serta dua buah jendela berada di bagian depan rumah. Jendela ini hanya terdapat pada rumoh aceh yang memiliki dinding yang terbuat dari papan. Ada juga sebagian dinding yang terbuat dari kayu enau.
Sama seperti dinding, material utama lantai pada rumoh aceh adalah papan dan kadang menggunakan kayu enau. Selain itu terdapat pula bambu yang dimanfaatkan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lainnya. Salah satu keunikan lantai pada rumoh aceh yaitu adanya gap atau celah antar papan sekitar 1cm. Gap ini menjadi tempat terbuangnya kotoran yang ada di lantai rumah bila disapu.
Begitu banyak keunikan yang ada di rumah aceh, termasuk dengan atap rumahnya. Atap rumah pada rumah aceh tidak bersifat permanen atau mudah untuk dilepaskan karena hanya dihubungkan menggunakan tali ijuk. Hal ini dilakukan mengingat bahan dasar atap yaitu daun rumbia atau daun enau yang rentan terbakar. Untuk mengurangi rambatan api maka tali ijuk dapat dipotong dan atap dapat dilepaskan.
Bentuk atap pada rumoh aceh merupakan atap dengan rabong atau tampong satu yang ditempatkan di atas ruang tengah yang direntangkan dari ujung kiri ke kanan dan cucuran atap ditempatkan di area depan dan belakang rumah. bahan utama penyusun atap adalah daun rumbia atau kadang menggunakan daun enau. Daun ini diikat dengan belahan rotan yang tipis atau lazimnya disebut mata pijeut. Sedangkan bahan utama tulang atap adalah belahan batang bambu. Karena bagian tengah atap yang berbebntuk rabong menjadikan ruang kosong dibagian atas ruang tengah dan di bawah atap dimanfaatkan menjadi loteng sebagai tempat penyimpanan barang.
Rumah adat identik dengan motif – motif ukiran yang khas yang tersebar di seluruh bagian rumah. Begitu pula dengan rumoh aceh. Bentuk ukirannya berupa pola simetris, belah ketupat, garis silang dan kaligrafi pada bagian tulak angen. Umumnya ukirannya berupa ayat suci Al Quran, Flora berupa semua bagian bunga dan lainnya, fauna, dan alam.

Rumoh Santeut

Rumoh santeut (datar) atau tampong limong merupakan rumah adat aceh yang biasanya digunakan sebagai tempat tinggal sehari-hari masyarakat aceh yang berpenghasilan rendah. Perbedaan rumoh santeut dengan rumoh aceh terletak pada ketinggian bangunan dan lantai setiap bagian rumah memiliki ketinggian yang sama, tidak seperti rumoh aceh dimana ruang tengah lebih tinggi dibandingkan dengan ruang depan dan belakang.

Rumoh santeut dapat juga disebut sebagai versi sederhana dari rumoh aceh. Kolong rumah hanya setinggi 1,5 m. Material penyusunnya pun sederhana, murah dan banyak memanfaatkan hasil alam sekitar. Atapnya tersusun dari daun rumbia, dindingnya merupakan susunan pelepah rumbia, sedangkan lantainya merupakan bamboo belah yang disusun tidak rapat agar memungkinkan masuknya udara dari bawah sehingga rumah tidak terasa panas. Kesederhanaan rumoh santeut juga dapat dilihat dari tidak terdapatnya ukiran-ukiran pada dinding maupun bagian rumah lainnya.


Rumoh santeut memiliki pembagian ruangan seperti pada rumoh aceh dengan tambahan bale didepan rumah. bagian depan sebagai ruang tamu atau kumpul keluarga, ruang tengah untuk kamar tidur, dan ruang belakang sebagai gudang dan dapur. Adapun karena terbatasnya ruangan, ruangan belakang dimanfaatkan juga sebagai kamar tidur dan dibangun ruang tambahan disamping ruang belakang untuk digunakan sebagai dapur. Kolong rumah dimanfaatkan sebagai area bersilaturahmi dan berkegiatan dengan para tetangga dan kerabat maupun para lelaki yang bukan muhrim.

Rangkang

Rangkang berupa rumah panggung yang hanya terdiri dari satu ruangan. Rangkang ini biasanya dimanfaatkan sebagai tempat melepas lelah bagi petani saat sedang bertani. Material yang digunakan untuk membuat rangkang juga sangat sederhana yaitu kayu biasa dan daun rumbia untuk atapnya.
rumah aceh


Sumber:http://www.rumah-adat.com/2016/11/rumah-aceh-rumah-adat-aceh.html